In health PCOS promil

Promil Story : RISE UP AND MOVE ON

Pasca keguguran di bulan November 2012, butuh waktu lumayan lama untuk bisa bangkit lagi.

Baca : Promil Story : Penantian Berujung Air Mata

Patah hati yang aku alami serasa berkali lipat dibanding saat putus dengan mantan pacar -mantan yang mana?- 😝

3,5 tahun dalam penantian dan menghilang begitu saja. Berhari-hari larut dalam kesedihan dan air mata. Penyesalan yang begitu mendalam. Bodohnya diriku. Kenapa tidak bisa menjaga calon anak kami dengan baik. Bodohnya diriku. Pasrah saja ketika harus menjalani tindakan kuretase. Kenapa saat itu aku tidak berusaha untuk mempertahankannya. Tapi apa yang dipertahankan ketika layar usg menunjukkan janin yang tak lagi terbentuk.

3,5 tahun dan hanya 13 hari merasakan "kehadiran" buah hati kami. Tidak mudah bagi aku, pun bagi suamiku. Meskipun aku tak pernah melihat air matanya tapi aku yakin, dia menangis dalam diam.

Menguatkan tekad, bahwa kami sanggup menanti 3,5 tahun. Maka kamipun akan sanggup menunggu sedikit lebih lama lagi.

Ada hikmah di setiap musibah. Walopun berat, aku mencoba meyakininya. Awal tahun 2013, datang kesempatan untuk mengikuti Ujian Dinas kenaikan pangkat di Semarang. Aku menganggap ini salah satu hikmahnya. Mungkin, jika aku masih hamil, aku lebih memilih tidak ikut ujian. Mengingat statusku sebagai murid senior Dewa Mabok 😝

Meski sempat down karena keguguran, aku yakin bahwa aku bisa hamil lagi. Karena terbukti, aku pernah hamil dan aku tidak mandul.

Tahun pertama pasca keguguran aku dan suami memutuskan untuk "istirahat", mengembalikan semangat dan keyakinan kami. Kami kembali menikmati masa-masa seperti awal pernikahan. Membangkitkan dan memupuk cinta kami agar lebih kuat. Karena cinta yang membuat kami bertahan, padahal banyak pasangan di luar sana yang memilih berpisah karena belum juga memiliki keturunan.

Setelah mengabdi sebagai tenaga honorer selama kurleb 7 tahun, awal tahun 2014 suami dinyatakan lolos sebagai CPNS Kementan dengan penempatan di Cengkareng. Kami menyebutnya anugrah dan ujian datang dalam 1 paket.

Anugrah, karena pada akhirnya suami mendapat "pekerjaan tetap". Ujian, karena kami harus berpisah. Dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk LDM selama 1 sampai 2 tahun. Setalah itu kami diskusikan kembali dan membicarakan berbagai kemungkinan agar kami bisa tinggal bersama lagi.

Baca : Indahnya LDM - Long Distance Marriage

Juni 2014 adalah saat dimana kami mulai memasuki kehidupan sebagai pasangan LDM. Berat, sungguh. Apalagi saat itu langsung ditinggal lumayan lama untuk Diklat Prajabatan. Banyak orang, bahkan aku sendiri sempat ragu akan kebesaran Alloh. Bagaimana tidak, tinggal bersama saja kami kesulitan untuk memiliki anak, apalagi harus berjauhan.

Tahun pertama LDM kami lakukan lebih untuk adaptasi. Karena sejak awal pacaran di 2002 sampai Juni 2014 kami selalu bersama. Dan tiba-tiba harus terpisah jarak dan waktu.

Pasca keguguran, aku lebih aktif mencari informasi seputar program hamil dan bergabung dengan beberapa grup sharing promil. Disini aku merasa mendapat banyak teman, dukungan dan doa dari teman-teman seperjuangan. Berbagai tips mulai dari makanan, jamu-jamuan, vitamin, aku coba. Selama halal dan masuk akal.

Untuk menciptakan peluang kehamilan, kami memutuskan untuk kembali serius menjalani program kehamilan. Aku menyadari pasti ada sesuatu yang salah pada tubuhku dan karena usia pernikahan sudah lumayan lama, kami berkonsultasi ke dokter kandungan sub spesialis infertilitas, Sp.OG (K.Fer) di sebuah rumah sakit swasta di Cilacap.

Jujur saja ini yang bikin sebel. Kita bayar iuran asuransi kesehatan setiap bulan, tapi giliran kita memerlukannya ternyata tidak bisa dipakai. Ya, BPJS tidak mengcover untuk program kehamilan. Bismillah, kami ikhlas, berapapun yang harus kami keluarkan untuk bisa menjemput malaikat kecil kami.

Konsultasi pertama kami lakukan di hari kedua haid. Setiap kali periksa, hanya dilakukan USG dan diberi jadwal untuk berhubungan serta diresepkan penyubur dan vitamin. Setelah tiga kali periksa dan belum menunjukkan hasil, kami disarankan untuk melakukan HSG (Histerosalpingografi). Yaitu pemeriksaan untuk memeriksa rahim dan saluran telur (tuba fallopi). HSG untuk memeriksa adanya kelainan ukuran atau bentuk rahim yang dapat menyebabkan infertilitas dan masalah kehamilan. Juga untuk menunjukkah apakah ada penyumbatan pada saluran telur.

HSG dilakukan dengan cara memasukkan cairan ke dalam rongga rahim melalui serviks menggunakan alat sejenis hidrotubator atau menggunakan kateter kecil. Kemudian dimasukkan cairan kontras melalui kateter sambil dilakukan pengambilan beberapa gambar rontgen.

Baru aku ceritakan tentang metode HSG, suami sudah tidak setuju. Dia masih trauma saat dulu mendampingiku kuratase. Masih terbayang dibenaknya bagaimana dokter melakukan tindakan tersebut. Meskipun aku sangat bersemangat dan ingin melakukan HSG, tapi ridho suami adalah segalanya bagiku. Maka aku putuskan untuk tidak melakukannya. 

Ternyata tidak mudah menyesuaikan jadwal kepulangan suami dengan jadwal kunjungan ke dokter berikutnya karena adanya perubahan jam kerja suami. Sebulan, 2 bulan, libur konsultasi.

Januari 2015, kami putuskan untuk berganti dokter kandungan di Purwokerto. Dengan pertimbangan, lebih mudah mengatur waktu karena kebanyakan klinik buka di waktu sore. Sehingga tidak perlu ada waktu tempuh tambahan bagi suami dari Purwokerto ke Cilacap. Dan sekalian aku bisa mudik ke rumah mama 😊

Dimana dan bagaimana proses program kami di Purwokerto? Next post ya 😉

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.